Di tengah-tengah insomnia, saya iseng buka blog sendiri yang sudah penuh sarang laba-laba, saking lamanya gak dibuka. Setelah scrolling, saya baru sadar kalau ternyata piknik terakhir sebelum pandemi ke Palembang, belum pernah dibahas sedikitpun di sini. Maka sekarang, mari kita bahas agar terasa segar kembali di ingatan, dan membangkitkan bahagia. Semoga!
Ya, tahun lalu saya hanya merasakan terbang 1 kali saja. Berbeda sekali dengan tahun sebelumnya yang sibuk packing-unpacking. Tahun ini backpack saya hanya ngedon di lemari, sampai diserang rayap. Yasudahlah tidak apa, nanti beli lagi. tsaaah
Februari 2020 lalu adalah bepergian saya ke luar kota atau luar pulau terakhir sebelum huru-hara pandemi, lock down, dan wfh. Kala itu saya tidak sendirian menjadi traveler jomblo solo, melainkan bepergian bersama kakak dan adik. Saya tidak ingat kapan kami pernah melakukan bepergian bersama sebelumnya. Saking lama dan langkanya.

Saya juga lupa kenapa saat itu kami memilih Palembang. Yah intinya kami tiba-tiba udah ke sana aja, dan super sebentar banget. Karena mengambil cuti pun tidak. Kami terbang dari Jogja pada Jum’at malam, dan kembali ke Jogja di Minggu malam, yang delay bersama maskapai kebanggan kita bersama urusan delay tapi murah.
Ke mana saja kami selama di Palembang? Tentu saja utamanya adalah MAKAN!! yaiya donk, makan bagian dari seni bertahan hidup, bukan?. Selain makan-makan, kami juga mengunjungi beberapa tempat lucu, yang tidak bisa kami temukan di Jogja. Itulah alasan kami tidak ke mekdi, Kaefci, dan semacamnya selama di Palembang.

Berperahu menyusuri Sungai Musi
Oh ya kami tidak ingin melewatkan libur singkat kami tanpa menyusuri sungai yang membelah Palembang menjadi Ulu dan Ilir ini. Sengaja kami pilih waktu sore hari agar di akhir berperahu ini nanti, kami bisa menikmati senja dan semburatnya yang jatuh keemasan di aliran sungai Musi.
Ceilah ngomongin senja mendadak jadi begini diksinya.

Sepanjang menyusuri sungai ini, kami mampir ke beberapa tempat seperti Kampung Arab Al Munawwir, Pulo Kemaro, dan Kampung Kapitan.
Pulo Kemaro
Ini dia pulau di tengah Sungai Musi yang tercipta akibat ulah Tan Bun Ah. Biasanya pulau ini akan sangat ramai ketika perayaan cap Go Meh. Nah kebetulan (beneran kebetulan ini, karena kami tidak tau kalo sebelumnya habis perayaan) kami ke sana H+1 perayaan Cap Go Meh. Mikirnya bakal masih dapat lah ya euforianya atau sisan lampion-lampionnya begitu. Ternyata pemandangannya jadi berbeda, karena banyak sekali stand-stand jualan yang hari itu baru bongkaran tenda.
Dan ini pemandangannya. Sedih sih, tapi foto harus tetap awesome.

Al-Qur’an Raksasa
Saya gak tau deh berapa banyak orang yang ke sini kemudian membaca. karena yang saya lihat sih banyakan yang ke sini ya foto-foto. Termasuk kami. Jadi ini tu di dalam bangunan yang besar begitu, kemudian ada banyak lembaran2 alquran yang ditulis di media kayu. Penulisannya baguss, cat dan materialnya juga bagus. Konon ada rencana ke depannya untuk koleksi ini agar lebih terkelola dengan baik, tapi sayangnya saya lupa. nanti kalo inget saya edit deh part ini.

Kampung Arab Al Munawwir
Kampung ini pernah jadi lokasi syuting suatu film lho. Bangunan yang di sini masih kerasa banget keunikannya. Di jalanan pun kami ketemu dengan adek-adek yang main layangan dan dari penampilannya benar-benar terlihat arab sekali. Kakak saya yang berlatar belakang arsitek suka dengan kampung ini.

Kawasan Jakabaring

Oh tentu saja kami tak ingin melewatkan saksi bisu penyelenggaraan event olahraga besar level internasional. Jadi pada hari minggu kami turut ke sini bertemu dengan ribuan warga Palembang dengan berbagai aktivitasnya. Mulai dari yang berolahraga, jalan-jalan santai, pacaran, piknik keluarga, arisan RT, sampai pemotretan buku tahunan. Wow multifungsi sekali ya area ini.

Masjid Raya Palembang
Bagian ini tidak perlu dijelaskan lah ya, sebagai traveler soleha yang saat itu baru masuk kepala 3, wajar sekali untuk menyengaja mampir ke masjid agar senantiasa ingat bahwa umur hanyalah titipan.

Oke, sebelum saya semakin berubah kepribadian, sebaiknya kita akhiri saja. Terima kasih sudah membaca catatan perjalanan yang tidak informatif, pun tidak sistematis ini. Semoga hidup Anda lebih tertata karena yang boleh berantakan hanya artikel ini.
have a nice day...
Kok nggak ada adegan foto di tengah jembatan Ampera. Aku dong motoran dan berhenti dan foto muehehehe.
Beberapa tahun ke Al-quran raksasa itu dan sudah banyak yang terkelupas dan karatan besi-besinya. Dikelola secara pribadi dan mengandalkan donasi, jadi mungkin kurang dana untuk mengelola tempat tersebut.
Jadi udah makan pempek berapa piring?
[…] kali. Tapi kalau ramean baru kesampean di awal tahun 2020 lalu. Selengkapnya saya tulis di postingan Palembang, yang isinya sama absurd dengan […]